Beranda > Artikel > “Homeschooling” Anak Autistik

“Homeschooling” Anak Autistik


Oleh SITTA R MUSLIMAH

Sekolah bagi seorang anak merupakan wahana untuk mengembangkan kekuatan pribadi, mengasah keterampilan, dan sekaligus mengembangkan sisi kecerdasannya; baik intelektual, emosional, spiritual dan sosial. Selain itu, sekolah juga boleh jadi akan mengantarkan mereka (baca: anak-anak) untuk mampu membuat perubahan bagi bangsa ini. Namun, melihat realitas di lapangan, acap kali kita mengurut dada, karena sekolah – dalam artian formal – jarang memberikan ruang bagi anak berkebutuhan khusus.

Mereka – anak-anak – yang mesti diperlakukan secara khusus itu, banyak juga yang tidak diterima di sebuah lembaga pendidikan umum, dengan alasan yang menyudutkan kekurangan-kekurangan anak tersebut. Padahal, setiap anak bangsa di seluruh Indonesia berhak memperoleh pendidikan. Oleh karena itu, di tengah impitan pelbagai masalah yang mendera negeri ini, terutama belum ajegnya sistem pendidikan kita, menengok kembali gagasan “homeschooling” atau sekolah-rumah, memang tepat dilakukan keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

Mengapa? Sebab, secara psikologis mereka membutuhkan bimbingan, kasih-sayang, dan perhatian dari orang tua secara intensif, sebelum ada pihak luar yang memanfaatkannya demi kepentingan pribadi. Misalnya, banyak anak-anak jalanan yang meminta-minta di jalan raya memiliki keterbelakangan fisik-mental dan acapkali dijadikan ajang pemanfaatan segelintir orang tak bernurani. Kejadian seperti ini pernah menimpa saudara teman penulis di Banyuresmi, Kab. Garut, pada dua tahun ke belakang; anak berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan pendidikan di sekolah umum dan tidak pula dari orang tuanya itu menjadi korban trafficking selama sebulan, kemudian di suruh mengemis di daerah Malangbong.

Pada waktu itu, keluarganya hanya bisa pasrah atas kejadian tersebut. Mereka tidak melaporkannya kepada pihak berwajib, karena faktor ketidaktahuan informasi – dan mungkin berasal dari keluarga tidak mampu – hingga akhirnya anak tersebut (Giman, 15 tahun) ditemukan kembali tanpa sengaja oleh warga yang sekampung dengannya, dan ia sedang tertidur di sebuah gardu.

Sekolah-rumah?

Ketika seorang keluarga memiliki seorang anak yang berkebutuhan khusus (special needs) menjadi keniscayaan untuk tetap memberikan layanan pendidikan kepada mereka. Tidak boleh memilah-milah kasih sayang agar mereka mampu menghadapi kerasnya kehidupan di masa mendatang. Dengan memberikan seorang anak berkebutuhan khusus pendidikan berbasis rumah atau “homeschooling”, tidak tepat kiranya kalau hanya berdiam diri di dalam rumah, tanpa ada proses sosialisasi dengan lingkungan sekitar.

Sebab, secara psikologi sosial, lingkungan dapat membentuk kepribadian seorang anak seperti rasa kebersamaan, kepedulian, dan menghargai perbedaan. Memenjarakan atau membatasi pergaulan seorang anak – kendati berkebutuhan khusus – adalah tindakan yang sarat dengan bahaya pribadi yang individualis, minder, dan putus asa.

Maka, sejatinya bagi keluarga yang memberikan layanan pendidikan melalui homeschooling bagi anaknya dan ia memiliki keterbatasan mental-fisik, menjadi keharusan untuk memilih atau menjadi seorang guru bagi anaknya yang mengerti kondisi mereka.

Anak autistik akan menunjukkan karakteristik perilaku seperti: tidak mengerti bahaya bagi sendiri, tahan terhadap sakit, bermain secara aneh dan berulang-ulang, menghindari kontak mata, lebih senang sendirian, sulit menyatakan keinginan, lekat pada benda-benda tertentu, tidak mau dirubah rutinitasnya, membeo kata atau kalimat, tidak berespon terhadap suara, suka memutar-mutar benda atau diri.

Selain itu, mereka juga memiliki kesulitan berhubungan dengan orang lain, duduk sambil menggoyang-goyangkan badan secara ritmis, berputar-putar, mengepak-ngepakkan tangannya seperti sayap, bertepuk tangan secara berulang-ulang (obsesif), suka bermain air, memperhatikan benda-benda yang berputar, berlompat-lompat, mengamuk dan menangis tanpa sebab.

Jalur pendidikan khusus

Dari karakteristik anak autistik di atas, pendidikan yang tepat untuk mereka adalah yang menggunakan pendidikan berbasis rumah, karena mereka juga sangat membutuhkan pengembangan kepribadian, intelektual, emosional, bahkan spiritual yang dilakukan secara intensif. Akan tetapi, secara metodologis sekolah-rumah bagi anak autistik mesti mengikuti kaidah-kaidah dalam menangani anak-anak yang terkategori autistik agar proses belajar-mengajar berjalan sebagaimana mestinya dan bisa mengantarkan mereka menjadi manusia yang mampu belajar terhadap kehidupan.

Dalam artikel berjudul “Pendidikan bagi Individu Autistik” (www.autisme.or.id), Dyah Puspita mengatakan bahwa individu atau anak autistik belajar secara berbeda karena adanya perbedaan neurologis yang berdampak pada tigal hal. 1). Belajar menjadi sesuatu yang sangat sulit dan berat, 2). Individu autistik mesti diberikan model pendidikan “khusus”, agar mereka bisa memahami materi dengan baik, dan 3). Intervensi dini harus dilakukan dengan menggunakan teknik “one-on-one”, satu guru satu anak dalam proses belajar guna memudahkan tatanan proses belajar mengajar.

Maka, dengan ketiga dampak yang memengaruhi proses belajar-mengajar terhadap anak autistik itu, pendidikan rumah harus menjadi mediasi melakukan home based therapy sebagai dasar dari mengajarkan konsep dasar dan mengembangkan sikap anak. Adapun menurut Dyah Puspita, seraya menguti pendapat Siegel (1996), jalur pendidikan khusus bagi individu autistik, yaitu: penanganan intensif di rumah (individual therapy), membentuk kelas yang semuanya autistik (designated autistik classes), melakukan imitasi dengan lingkungan yang lebih baik (ability grouped classes), dan terakhir memasukkan mereka ke dalam kelas yang dihuni anak berkebutuhan khusus yang tidak melulu autistik (social skills development and mixed disability classes).

Oleh karena itu, dengan menggagas sekolah-rumah bagi anak autistik, sebetulnya kita sedang melakukan upaya pembebasan terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus ini agar di masa depan mereka dapat berdialektika dengan realitas kehidupan. Sebab, sebagai manusia beragama, memperlakukan dan menempatkan anak-anak yang berkebutuhan khusus – seperti anak autistik – sama dengan anak-anak yang lainnya dalam pendidikan merupakan wujud dari pengabdian kita pada nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

 

Kategori:Artikel
  1. neina
    Februari 13, 2009 pukul 8:00 am

    memank anak dengan karakteristik tertentu ketika belajar baik itu d dalam kls atowpun d rumah me2rlukan penanganan seara khusus..
    saya punya temen yank kuliah d bandung ambil jurusan PLB dan ambil kekhususan autistik…
    meliat dia menangani mereka hati ini trenyuh…
    ternyata ada juga org2 yank mau rela mengurusi anak2 dengan kehususan tadi dengan kasiy sayank yank tulus…
    tp yg bwat saya anaeh, mengapa justru skarank ini banyak sekolah interaktif yank guru2nya tidak ada kemampuan/keahlian untuk mengurursi mereka tapi memaksakan..hanya kerana sekolah mereka ingin punya banyak siswa..dan maav ‘d komersilkan’

    saya pengen banget smua oarang (orang tua,guru,psykolog,ahli terapy, dan juga para orthopaedagogy..berkumpul guna menyamakn visi dan misi sebenarnya mau dbawa kmana anak2 yang lucu ini…

    karena yank pernah saya tau dan saya baca anak2 dengan khusussan tertentu dalam bidang kurikulum d sekolah d buat sedemikianrupa agar pembelajarn bagi mereka menyenangkan..tidak membosankan…tapi tepat sasaran…

    (maav klu comment nya nglantur..ini curahan hati coz nei juga punya ponakan yank ADHD juga yank autistik)

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar